 |
| gelora tie-dye matiinu iman ramadhan dan hasil karya kebanggaannya (bukan. bukan kulitnya) |
Adalah suatu sore yang cerah di Kota Bandung tercinta, ketika saya pergi ke kampus Ganesha 10 bersama si hitam. Si hitam yang belum selesai sampling TA ini memiliki agenda yang dimiliki mahasiswa belum lulus pada umumnya: Ujian Akhir Semester. Adapun matakuliah yang beliau perjuangkan hari itu adalah celup ikat, sebuah kegiatan menarik dan kreatif yang terdaftar di seni kriya.
Soal ujian yang diperbincangkan berisikan lima buah soal psikologis dan sebuah soal ekstensi yang mewajibkan pembacanya untuk mendokumentasikan hasil karyanya. Caranya sederhana, yakni memperagakan penggunaan hasil karya (tie-dye) bersama model yang sesuai. Saya ulangi. Model yang sesuai.
Saya, selaku mahasiswa, tentunya harus bersikap kritis dalam menghadapi segala permasalahan yang datang menghampiri. Membaca soal ekstensi dalam ujian tersebut, saya paham benar maksud dari pembuat soal. Model yang sesuai di sini adalah sang pembuat karya itu sendiri, karena dia lah yang mengetahui seluk beluk dan motif dari terciptanya maha karya tie-dye. Ya. Saya paham. Saya maklum.
Namun, jauh di dalam relung nadi saya, terdapat suara-suara yang menghantui alam sadar saya. "Apakah si hitam adalah model yang sesuai?". "Apakah saat membuat soal tersebut dosen matakuliah celup ikat memahami semua resikonya?". "Dan lagi, apakah si hitam adalah model yang sesuai?".
Dan pertanyaan-pertanyaan mengusik hati tersebut terjawab di sore hari menjelang maghrib di sebuah kos-kosan di Cisitu. Berlatar belakang dinding putih, si hitam melakukan photosession ala fashion tv #tanpamusik selama beberapa menit. Menit yang sangat berharga, karena di waktu yang sedikit itu saya menyaksikan betapa tulusnya niat dan usaha seorang manusia untuk menyatu secara visi dan misi dengan hasil karyanya.
Satu juta pose telah diperagakan. Satu juta properti telah digunakan.
Soal ujian yang diperbincangkan berisikan lima buah soal psikologis dan sebuah soal ekstensi yang mewajibkan pembacanya untuk mendokumentasikan hasil karyanya. Caranya sederhana, yakni memperagakan penggunaan hasil karya (tie-dye) bersama model yang sesuai. Saya ulangi. Model yang sesuai.
Saya, selaku mahasiswa, tentunya harus bersikap kritis dalam menghadapi segala permasalahan yang datang menghampiri. Membaca soal ekstensi dalam ujian tersebut, saya paham benar maksud dari pembuat soal. Model yang sesuai di sini adalah sang pembuat karya itu sendiri, karena dia lah yang mengetahui seluk beluk dan motif dari terciptanya maha karya tie-dye. Ya. Saya paham. Saya maklum.
Namun, jauh di dalam relung nadi saya, terdapat suara-suara yang menghantui alam sadar saya. "Apakah si hitam adalah model yang sesuai?". "Apakah saat membuat soal tersebut dosen matakuliah celup ikat memahami semua resikonya?". "Dan lagi, apakah si hitam adalah model yang sesuai?".
Dan pertanyaan-pertanyaan mengusik hati tersebut terjawab di sore hari menjelang maghrib di sebuah kos-kosan di Cisitu. Berlatar belakang dinding putih, si hitam melakukan photosession ala fashion tv #tanpamusik selama beberapa menit. Menit yang sangat berharga, karena di waktu yang sedikit itu saya menyaksikan betapa tulusnya niat dan usaha seorang manusia untuk menyatu secara visi dan misi dengan hasil karyanya.
Satu juta pose telah diperagakan. Satu juta properti telah digunakan.
 |
| the twilight saga legend adalah satu-satunya mahasiswa ITB yang pernah menjadi edward cullen dan juga jacob black |
photo source || it's yogas' !
mungkin lain kali modelnya yang perlu dicelup ikat gas. :)
ReplyDeleteitu modelnya udah kecelup sih... #eh
ReplyDelete